Sayangnya kawan, semesta tak selugu itu. Tak seketika menjadi lebih baik hanya dengan kita mengimani pesan perdamaian dan salam peace dari Slank. Damai tak selalu tersedia sebagai opsi. Ada situasi di mana melawan dan menyambut konflik adalah satu-satunya pilihan masuk akal yang tersisa, pun jika itu laik disebut pilihan.
“Lagu Hidup” adalah karya yang lahir secara organik dari situasi serupa.
Pertama kali saya berkesempatan mendengarnya, “Lagu Hidup” sepintas terlalu lugas untuk Sisir Tanah dengan reputasinya akan pembawaan lirik-lirik puitis yang fasih membuat kesengsem. Lirik berbunyi “Kita akan selalu butuh tanah / Kita akan selalu butuh air” atau “Jika kau masih cinta kawan dan saudara / Jika kau masih cinta kampung halamanmu” agaknya tak cukup menantang untuk direspons pembacaan teks lebih jauh.
Namun, teks tak boleh dibiarkan terkucil. Mujur, saya cukup punya kesempatan mengenal konteks atau serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai ekstrinsik yang memengaruhi bagaimana lagu ini terbentuk. Menahun sudah Bagus Dwi Danto selaku sosok di balik nama Sisir Tanah malang melintang, mengiringi kegiatan-kegiatan aktivisme pinggiran, gelaran kampus mepet dana, hingga gebyar panggung seni. Mengikuti kiprahnya sedikit banyak membekali saya modal untuk mengenali konteks ruang, masa, dan motif karya-karyanya.
“Lagu Hidup” adalah komposisi yang tumbuh dan dibesarkan dalam ekosistem pergerakan politik agraria. Bertimbal balik, lagu itu akhirnya pun menjadi medium unggulan Sisir Tanah untuk merawat ekosistem pergerakan itu sendiri. Liriknya yang tersurat memang sebati dengan fungsinya untuk menyampaikan rasa dan karsa terhadap pihak-pihak yang menjadi korban konflik agraria bertunjang pendekatan militeristik. Boleh dibilang ini adalah lagu yang pragmatis. “Lagu Hidup” tercipta sebagai perangkat pergerakan, mengisi satu urgensi di mana musik punya peluang berandil sesuai porsinya. Disuarakan dari satu panggung ke panggung lain, “Lagu Hidup” menawarkan semangat baik dan bahan bakar psikologis bagi para aktivis dan petani.
Kebanyakan lagu tentang isu setarafnya memang mengambil perspektif narator yang tengah bicara pada pendengar urban yang berjarak dengan persoalan rural dan agraria. Lagu-lagu itu berperan selayaknya “pembawa berita.” Bagian verse di “Lagu Hidup” sejatinya juga mengindikasikan sensibilitas yang sama, sebelum bagian reff-nya memberikan perbedaan. ”Dan harus berani, harus berani / jika orang-orang serakah datang/ harus dihadang,“ boleh jadi hanya sungguh mampu dimaknai secara utuh oleh para saksi hidup yang terlibat langsung satu medan dengan mereka yang disebut “orang-orang serakah”. Berupaya seintim mungkin dengan isu yang disuarakannya, “Lagu Hidup” bertunas di tengah-tengah medan itu.
Syahdan, di luar fungsi emosionalnya, “Lagu Hidup” juga dapat dibaca lebih jauh dengan kacamata persoalan politik agraria yang lebih umum. Konten pesan dalam “Lagu Hidup” tak hanya berorientasi seputar “berani” memerangi represi, melainkan juga dua kendala terbesar—bahkan lebih mendasar pula—bagi pembaruan agraria di Tanah Air, yakni depolitisasi dan hegemoni terhadap kaum petani. Sepasang kebijakan strategis yang dilancarkan sedari Suharto naik tampuk ini adalah persoalan dasar yang sistemis dan semestinya bisa lebih dahulu tertanggulangi agar gerak aktivisme atau “Lagu Hidup” sendiri tak harus berfungsi sebagai “pemadam kebakaran”.
Pemulihan politik agraria yang rumpang di Tanah Air memang pada basisnya wajib melibatkan dua aktor utama, yakni petani dan negara. Muskil untuk bergantung pada koreksi di satu kutub saja. “Lagu Hidup” dalam hal ini adalah teks yang bicara bahwa perubahan butuh ditempuh pula melalui jalan bawah, atau kaum tani dan rakyat. Petani perlu lebih aktif, bahkan tak berlebihan untuk diimbau agresif. Sebagai yang paling berkepentingan dalam perwujudan keadilan agraria, inisiatif-inisiatif dan kembalinya kesadaran politis bagi mereka untuk berani menjadi counter-force bagi rezim pemerintah amat dibutuhkan.
Gunawan Wiradi selaku salah satu kawakan pejuang reforma agraria pernah menulis, ”Sekarang ini hampir semua pembaruan agraria dilakukan atas dasar kedermawanan pemerintahan, sehingga begitu minat pemerintah berubah (demi kepentingannya), maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh pembaruan agraria”.
Pembaruan agraria yang bergantung pada sikap pasif petani dinilai “tidak sustainable karena bergantung pada pasar politik”. Diperlukan pemberdayaan rakyat atau yang disebut oleh Powelson dan Stock (1987) sebagai landreform by leverage. Petani perlu dituntun atau diedukasi untuk lebih galak mempertahankan tanahnya, dan merebut posisi tawar ketika menjumpai konflik. Lagipula sejak kapan kita boleh sudi memasrahkan persoalan kemaslahatan begitu saja pada negara?
Tentu saja itu tak semudah dan seinstan menulis pengantar ini. Perjuangan agraria adalah perjuangan yang harus berkesinambungan, berumur panjang, serta tiap tapaknya mesti dikawal oleh keberanian.
Dan selama itu, selama ujung perjuangan ini masih sayup-sayup, apa yang dibicarakan dalam “Lagu Hidup” akan terus hidup.
(Soni Triantoro)
Lagu ini dirilis secara gratis (dan legal!) sebagai bagian dari proyek 37suara.
Teman-teman dapat mendengarkan serta mengunduh lagu ini di laman-laman berikut:
Namun, kalian juga boleh berdonasi dengan mengikuti petunjuk-petunjuk di sini.
Karya ini menggunakan Lisensi Internasional Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0.
"Lagu Hidup"
Kita akan slalu butuh tanah
Kita akan slalu butuh air
Kita akan slalu butuh udara
Jadi teruslah merawat
Jika kau masih cinta kawan dan saudara
Jika kau masih cinta kampung halaman mu
Jika kau cinta jiwa raga yang merdeka
Tetap saling melindungi
Dan harus berani
Jika orang-orang serakah datang
Harus dihadang
Harus berani
Jika orang-orang itu menyakiti
Harus bersatu menghadapi
Sedihmu adalah sedihku juga
Sakitmu, sakitku sakit kita manusia
Bahagiaku takkan lengkap tanpa bahagiamu
Bahagiakanlah kehidupan
Lirik dan lagu: Sisir Tanah
Artwork: Agung Kurniawan
Gitar dan vokal: Bagus Dwi Danto
Gitar: Ragipta Utama
Piano: Nadya Hatta
Bass: Faizal Aditya Rachman
Drum: Indra Agung Hanifah
Direkam di: Studio Kua Etnika
Mixing dan mastering: Studio Sangkar Emas
Direkam, mixing dan mastering oleh: Anton Gendel
“Lagu Hidup” adalah karya yang lahir secara organik dari situasi serupa.
Pertama kali saya berkesempatan mendengarnya, “Lagu Hidup” sepintas terlalu lugas untuk Sisir Tanah dengan reputasinya akan pembawaan lirik-lirik puitis yang fasih membuat kesengsem. Lirik berbunyi “Kita akan selalu butuh tanah / Kita akan selalu butuh air” atau “Jika kau masih cinta kawan dan saudara / Jika kau masih cinta kampung halamanmu” agaknya tak cukup menantang untuk direspons pembacaan teks lebih jauh.
Namun, teks tak boleh dibiarkan terkucil. Mujur, saya cukup punya kesempatan mengenal konteks atau serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai ekstrinsik yang memengaruhi bagaimana lagu ini terbentuk. Menahun sudah Bagus Dwi Danto selaku sosok di balik nama Sisir Tanah malang melintang, mengiringi kegiatan-kegiatan aktivisme pinggiran, gelaran kampus mepet dana, hingga gebyar panggung seni. Mengikuti kiprahnya sedikit banyak membekali saya modal untuk mengenali konteks ruang, masa, dan motif karya-karyanya.
“Lagu Hidup” adalah komposisi yang tumbuh dan dibesarkan dalam ekosistem pergerakan politik agraria. Bertimbal balik, lagu itu akhirnya pun menjadi medium unggulan Sisir Tanah untuk merawat ekosistem pergerakan itu sendiri. Liriknya yang tersurat memang sebati dengan fungsinya untuk menyampaikan rasa dan karsa terhadap pihak-pihak yang menjadi korban konflik agraria bertunjang pendekatan militeristik. Boleh dibilang ini adalah lagu yang pragmatis. “Lagu Hidup” tercipta sebagai perangkat pergerakan, mengisi satu urgensi di mana musik punya peluang berandil sesuai porsinya. Disuarakan dari satu panggung ke panggung lain, “Lagu Hidup” menawarkan semangat baik dan bahan bakar psikologis bagi para aktivis dan petani.
Kebanyakan lagu tentang isu setarafnya memang mengambil perspektif narator yang tengah bicara pada pendengar urban yang berjarak dengan persoalan rural dan agraria. Lagu-lagu itu berperan selayaknya “pembawa berita.” Bagian verse di “Lagu Hidup” sejatinya juga mengindikasikan sensibilitas yang sama, sebelum bagian reff-nya memberikan perbedaan. ”Dan harus berani, harus berani / jika orang-orang serakah datang/ harus dihadang,“ boleh jadi hanya sungguh mampu dimaknai secara utuh oleh para saksi hidup yang terlibat langsung satu medan dengan mereka yang disebut “orang-orang serakah”. Berupaya seintim mungkin dengan isu yang disuarakannya, “Lagu Hidup” bertunas di tengah-tengah medan itu.
Syahdan, di luar fungsi emosionalnya, “Lagu Hidup” juga dapat dibaca lebih jauh dengan kacamata persoalan politik agraria yang lebih umum. Konten pesan dalam “Lagu Hidup” tak hanya berorientasi seputar “berani” memerangi represi, melainkan juga dua kendala terbesar—bahkan lebih mendasar pula—bagi pembaruan agraria di Tanah Air, yakni depolitisasi dan hegemoni terhadap kaum petani. Sepasang kebijakan strategis yang dilancarkan sedari Suharto naik tampuk ini adalah persoalan dasar yang sistemis dan semestinya bisa lebih dahulu tertanggulangi agar gerak aktivisme atau “Lagu Hidup” sendiri tak harus berfungsi sebagai “pemadam kebakaran”.
Pemulihan politik agraria yang rumpang di Tanah Air memang pada basisnya wajib melibatkan dua aktor utama, yakni petani dan negara. Muskil untuk bergantung pada koreksi di satu kutub saja. “Lagu Hidup” dalam hal ini adalah teks yang bicara bahwa perubahan butuh ditempuh pula melalui jalan bawah, atau kaum tani dan rakyat. Petani perlu lebih aktif, bahkan tak berlebihan untuk diimbau agresif. Sebagai yang paling berkepentingan dalam perwujudan keadilan agraria, inisiatif-inisiatif dan kembalinya kesadaran politis bagi mereka untuk berani menjadi counter-force bagi rezim pemerintah amat dibutuhkan.
Gunawan Wiradi selaku salah satu kawakan pejuang reforma agraria pernah menulis, ”Sekarang ini hampir semua pembaruan agraria dilakukan atas dasar kedermawanan pemerintahan, sehingga begitu minat pemerintah berubah (demi kepentingannya), maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh pembaruan agraria”.
Pembaruan agraria yang bergantung pada sikap pasif petani dinilai “tidak sustainable karena bergantung pada pasar politik”. Diperlukan pemberdayaan rakyat atau yang disebut oleh Powelson dan Stock (1987) sebagai landreform by leverage. Petani perlu dituntun atau diedukasi untuk lebih galak mempertahankan tanahnya, dan merebut posisi tawar ketika menjumpai konflik. Lagipula sejak kapan kita boleh sudi memasrahkan persoalan kemaslahatan begitu saja pada negara?
Tentu saja itu tak semudah dan seinstan menulis pengantar ini. Perjuangan agraria adalah perjuangan yang harus berkesinambungan, berumur panjang, serta tiap tapaknya mesti dikawal oleh keberanian.
Dan selama itu, selama ujung perjuangan ini masih sayup-sayup, apa yang dibicarakan dalam “Lagu Hidup” akan terus hidup.
(Soni Triantoro)
Unduh
Lagu ini dirilis secara gratis (dan legal!) sebagai bagian dari proyek 37suara.
Teman-teman dapat mendengarkan serta mengunduh lagu ini di laman-laman berikut:
Namun, kalian juga boleh berdonasi dengan mengikuti petunjuk-petunjuk di sini.
Karya ini menggunakan Lisensi Internasional Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0.
Lirik
"Lagu Hidup"
Kita akan slalu butuh tanah
Kita akan slalu butuh air
Kita akan slalu butuh udara
Jadi teruslah merawat
Jika kau masih cinta kawan dan saudara
Jika kau masih cinta kampung halaman mu
Jika kau cinta jiwa raga yang merdeka
Tetap saling melindungi
Dan harus berani
Jika orang-orang serakah datang
Harus dihadang
Harus berani
Jika orang-orang itu menyakiti
Harus bersatu menghadapi
Sedihmu adalah sedihku juga
Sakitmu, sakitku sakit kita manusia
Bahagiaku takkan lengkap tanpa bahagiamu
Bahagiakanlah kehidupan
Lirik dan lagu: Sisir Tanah
Artwork: Agung Kurniawan
Gitar dan vokal: Bagus Dwi Danto
Gitar: Ragipta Utama
Piano: Nadya Hatta
Bass: Faizal Aditya Rachman
Drum: Indra Agung Hanifah
Direkam di: Studio Kua Etnika
Mixing dan mastering: Studio Sangkar Emas
Direkam, mixing dan mastering oleh: Anton Gendel
[Musik] "Lagu Hidup" - Sisir Tanah
Reviewed by Unknown
on
12.1.18
Rating: